Total Tayangan Halaman

Rabu, 10 Agustus 2011

Syetan Terbelenggu

Di Bulan Ramadhan syetan dibelenggu. apakah sebenarnya makna dibelenggu dalam matan hadits tersebut. apakah makna terbelenggu disini dalam makna hakiki seperti terdapat dalam gambar disamping? ataukah makna majazi dalam artian tidak bebas lagi menggoda anak Adam?
Apabila menggunakan makna hakiki, siapa yang bertugas membelenggu mereka, jenis apa belengguya dan dimana mereka di dibelenggu. Sementara apabila di gunakan makna majazi, apakah bermakna, mereka tidak mempunyai daya menggoda karena pertahanan cucu Adam begitu kuat?
Nah kalau digunakan makna hakiki, konsekwensinya, semua syetan penggoda dibelenggu selama Ramadhan, sehingga orang yang tidak berpuasapun termasuk non muslim bebas dari godaan mereka selama bulan ini? kenyataannya di negeri-negeri yang mayoritas non muslim, kemaksiatan terus berjalan sepanjang jam. di negara mayoritas muslim pun terdapat juga kekerasan, kemaksiatan, judi, perampokan terus berlangsung sekalipun dalam skala kecil.
Apabila menganalisa kenyataan di atas, penulis lebih setuju kalau makna dibelenggu di sana dalam arti majazi. artinya kekuatan dalam diri cucu Adam akibat puasa begitu kuat sehingga syetan tak kuasa menggoda.
Kalau demikian halnya, syetan itu akan terbelenggu kapanpun apabila pertahanan manusia kuat, tidak mesti di bulan Ramadhan. tetapi kalau pertahanannya lemah, syetan dengan leluasa menggoda manusia kapanpun.
Dalam diri manusia ada yang disebut dengan nafsu, nafsu itu dapat secara langsung menggerakkan manusia, dia akan berbuat sesuai dengan bisikan yang masuk padanya. Apabila bisikan akal lebih dominan, maka dia akan terbimbing, tetapi apabila akal tidak berdaya, maka syetanlah yang menguasai nafsu tersebut, sehingga yang perbuatan-perbuatan manusia cenderung menjerumuskannya sendiri.
Oleh karena itu, benarlah bahwa dengan puasa, dapat melemahkan nafsu sehingga mudah dikendalikan dan tunduk pada akal, dan syetan tidak mempunyai patner untuk mempengaruhi manusia. Pada kondisi ini, manusia menemukan jati dirinya sebagai hamba Allah yang seharusnya mengabdi pada Tuhan-Nya. Kondisi inilah yang kemudian disebut 'fithrah' (suci) atau kembali pada penciptaan awal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar