Total Tayangan Halaman

Senin, 15 Agustus 2011

Makna Kemerdekaan Hakiki

Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia di seluruh pelosok nusantara merayakan hari kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Mereka melakukan beragam aktifitas berupa perlombaan-perlombaan, unjuk keterampilan, pawai, kegiatan sosial dan beragam kegiatan lainnya dalam rangka menyambut hari bersejarah tersebut.
Perayaan itu memang layak dilakukan, mengingat banyaknya pengorbanan orang tua dulu dalam merebut kemerdekaan itu. Ada yang mengorbankan harta benda, tenaga bahkan nyawa sekalipun.
Perayaan itu sebenarnya hanya seremonial yang kadang kehilangan makna dan pesan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan diberbagai pelosok itu tidak sepenuhnya dapat membangkitkan nasionalisme yang kian hari semakin memudar. Anak-anak muda bangsa ini fisiknya masih berpostur mongolid, tetapi kepribadiannya sudah gaya bangsa Barat.
Keadaan semacam ini, bukan masalah orang-per orang, melainkan sudah menggejala ke tingkat nasional. Pemimpin-peminpin bangsa ini idealnya menjadi panutan, mereka malah menjual asset-asset negara ini ke negara lain dengan alasan untuk kesejahteraan masyarakat. Kalaupun asset tersebut mendatangkan kesejahteraan, itupun hanya dinikmati kalangan tertentu saja, sementara rakyat kebanyakan tetap saja tidak dapat menikmati kesejahteraan dari kekayaan negerinya.
Merdeka dari kekuasaan bangsa lain dalam artian diakui wilayahnya sebagai negara berdaulat, mungkin ya. tetapi sejauh ini kepentingan bangsa lain masih tetap menggerogoti negeri ini.
Kembali kepada kemerdekaan, lalu apa sebenarnya makna hakikat dari kemerdekaan itu sendiri bagi masing-masing individu?
Seseorang merdeka apabila terbebas dari hal-hal sebagaimana berikut:
a. Merdeka dari kebodohan.
b. Merdeka dari kemiskinan.
c. Merdeka dari kekangan hawa nafsu.
d. Merdeka dari kemaksiatan.
e. Merdeka dari penyakit
f. Merdeka dari lilitan hutang

Apabila seseorang sudah dapat membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu di atas barulah dia disebut seorang yang merdeka.
Mari kita sambut perrayaan kemerdekaan bangsa ini dengan membebaskan diri kita dari hal-hal yang membelenggu kita. Merdeka.....!

Rabu, 10 Agustus 2011

Syetan Terbelenggu

Di Bulan Ramadhan syetan dibelenggu. apakah sebenarnya makna dibelenggu dalam matan hadits tersebut. apakah makna terbelenggu disini dalam makna hakiki seperti terdapat dalam gambar disamping? ataukah makna majazi dalam artian tidak bebas lagi menggoda anak Adam?
Apabila menggunakan makna hakiki, siapa yang bertugas membelenggu mereka, jenis apa belengguya dan dimana mereka di dibelenggu. Sementara apabila di gunakan makna majazi, apakah bermakna, mereka tidak mempunyai daya menggoda karena pertahanan cucu Adam begitu kuat?
Nah kalau digunakan makna hakiki, konsekwensinya, semua syetan penggoda dibelenggu selama Ramadhan, sehingga orang yang tidak berpuasapun termasuk non muslim bebas dari godaan mereka selama bulan ini? kenyataannya di negeri-negeri yang mayoritas non muslim, kemaksiatan terus berjalan sepanjang jam. di negara mayoritas muslim pun terdapat juga kekerasan, kemaksiatan, judi, perampokan terus berlangsung sekalipun dalam skala kecil.
Apabila menganalisa kenyataan di atas, penulis lebih setuju kalau makna dibelenggu di sana dalam arti majazi. artinya kekuatan dalam diri cucu Adam akibat puasa begitu kuat sehingga syetan tak kuasa menggoda.
Kalau demikian halnya, syetan itu akan terbelenggu kapanpun apabila pertahanan manusia kuat, tidak mesti di bulan Ramadhan. tetapi kalau pertahanannya lemah, syetan dengan leluasa menggoda manusia kapanpun.
Dalam diri manusia ada yang disebut dengan nafsu, nafsu itu dapat secara langsung menggerakkan manusia, dia akan berbuat sesuai dengan bisikan yang masuk padanya. Apabila bisikan akal lebih dominan, maka dia akan terbimbing, tetapi apabila akal tidak berdaya, maka syetanlah yang menguasai nafsu tersebut, sehingga yang perbuatan-perbuatan manusia cenderung menjerumuskannya sendiri.
Oleh karena itu, benarlah bahwa dengan puasa, dapat melemahkan nafsu sehingga mudah dikendalikan dan tunduk pada akal, dan syetan tidak mempunyai patner untuk mempengaruhi manusia. Pada kondisi ini, manusia menemukan jati dirinya sebagai hamba Allah yang seharusnya mengabdi pada Tuhan-Nya. Kondisi inilah yang kemudian disebut 'fithrah' (suci) atau kembali pada penciptaan awal.